Rabu, 03 Juni 2009

LAPORAN IT KPU

Bab 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa selama ini saya tidak terlalu menyuarakan opini negatif terhadap sistem IT KPU (tnp dan www) karena berbagai alasan yang terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Pada awalnya saya beranggapan bahwa KPU sudah memiliki tim yang (semestinya) dapat menjalankan misinya. Namun, pada perjalanannya mulai nampak bahwa sistem kurang dikelola secara optimal sehingga menimbulkan banyak masalah. (I documented the problems elsewhere.
Perhaps in the future I will put them here)

Masalah yang menjadi perhatian saya adalah sisi security, yang kebetulan merupakan topik yang saya minati. Dalam pandangan saya, masalah yang terbesar adalah sisi cara pengelolaan dan penggunaan teknologi yang digunakan. Saya ambil contoh.
Dalam proses perhitungan yang lalu terdapat banyak masalah yang dapat dikatakan akibat dari keteledoran (lalai). Data-data yang seharusnya masih nol, ternyata berisi angka. Capacity planning kurang diperhatikan sehingga kisruh masalah bandwidth. Puncaknya adalah adanya berhasilnya sistem dijebol sehingga data-data nama partai berhasil diubah.
Tuntutan dari sebagian orang yang melek IT bahwa sistem harus diaudit ditanggapi dengan pernyataan bahwa tidak ada standar audit IT. Padahal audit teknologi yang terkait dengan security sudah lama saya lakukan. Sangat disayangkan bahwa KPU belum mengerti adanya bidang ini. Kemudian ramai orang membicarakan masalah audit IT ini, meski umumnya membahas dari kerangka information system (IS). Tidak salah. Tapi mungkin banyak yang lupa (atau belum tahu) bahwa ada juga audit dari sisi teknologi (IT).

1.2 Tujuan
1. Mengetahui sistem IT KPU
2. Mengetahui penggunaan sistem IT KPU
3. Mengetahui hambatan dan masalah sistem IT KPU
4. Dapat membuka wawasan tentang sistem IT






Bab 2
ISI

2. Permasalahan KPU

2.1 IT KPU Jalan Mundur


Sebelum hari H pelaksanaan Pemilu 2009, kita bisa melihat perkembangan dan membaca berita seputar rencana implementasi IT KPU. Keyword seputaran “IT KPU diprediksi bakal berantakan” muncul di berbagai tempat.
Apakah pada hari ini kita benar-benar akan melihat IT KPU berantakan seperti prediksi berita-berita tersebut? Tentu kita tidak berharap demikian. Point of interest dari tulisan ini adalah melihat dari sudut pandang end-user (dalam hal ini pengguna Internet yang akan melihat hasil publikasi tabulasi penghitungan suara melalui situs KPU), jika dibandingkan dengan pelaksanaan IT KPU pada Pemilu 2004. Tulisan juga ‘dibumbui’ dengan sedikit data dan pengalaman saya sebagai bagian dari anggota tim pelaksana pada implementasi IT KPU Pemilu 2004.

Distribusi IT KPU 2004

Distribusi perangkat IT KPU pada Pemilu 2004 melingkupi:
• 8005 buah PC yang didistribusikan ke 4167 kecamatan (440 kabupaten/kota, 32 propinsi)
• 30 server 32bit dan 4 server itanium 64bit di 2 lokasi data center (DC) dan disaster recovery center (DRC)
• 2569 perangkat VPN Dial (untuk kecamatan-kecamatan yang terjangkau oleh infrastruktur data PT Telkom)
• 1850 perangkat telepon satelit (untuk kecamatan-kecamatan yang tidak terjangkau oleh infrastruktur data PT Telkom, pengiriman data menggunakan perangkat telepon satelit melalui PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN))
• Perangkat pendukung: printer, hub, dsb.
Pada Pemilu 2004, implementasi IT KPU melingkupi sekitar 80% coverage nasional (dengan acuan 100% –nya tentu adalah hasil penghitungan manual). Mengapa “hanya” 80%? Ada berbagai alasan, antara lain karena ada banyak wilayah baru hasil pemekaran yang namanya belum “muncul” pada data awal perencanaan IT KPU, atau karena minimnya infrastruktur pada kantor kecamatan yang bersangkutan (tidak ada listrik adalah salah satu faktor paling utama). Dengan didukung oleh ribuan orang relawan yang terdiri dari pelajar dan guru-guru SMK dan mahasiswa dari beberapa kampus, implementasi IT KPU 2004 sanggup menyajikan data sampai level yang terendah, yaitu visualisasi hasil perolehan suara di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara). Data yang disajikan lengkap, mulai dari hasil pemilu legislatif (yang memilih anggota DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi, DPR RI dan DPD). Pada Pemilu 2009 ini, IT KPU hanya akan menampilkan data pada tingkat DPR RI dan DPD (“kehilangan 2 level lain dibanding IT KPU 2004, yaitu DPRD Kota/Kabupaten dan DPRD Propinsi).

Peran Kontrol “Papan Tulis Raksasa” IT KPU

Hasil perolehan suara yang menjadi acuan penetapan hasil akhir adalah hasil penghitungan manual. Hasil tabulasi yang dilakukan oleh “mesin penghitung” pada data center IT KPU adalah sebagai data pembanding dan sebagai kontrol atas manipulasi yang mungkin terjadi.
Idealnya data pembanding ini tentu 100%. Tapi dengan segala keterbatasan, “sampling” 80% adalah nilai yang sangat baik untuk melihat sebuah pola dan juga data akurat untuk pembuktian adanya kecurangan.
Pada implementasi IT KPU di Pemilu 2004, setiap orang yang memiliki akses ke Internet dan membuka situs http://tnp.kpu.go.id dapat melihat dan memeriksa apakah hasil perolehan suara yang ia lihat di TPS-nya sama persis dengan yang tertera di halaman web ini. Jika ternyata angka yang disajikan berbeda, itu artinya terdapat manipulasi. Jika angkanya sama, kita bisa percaya bahwa data sampai di pusat tanpa modifikasi. Jadi, peran IT KPU di sini adalah sebagai alat kontrol yang dapat dipakai oleh masyarakat terhadap kemungkinan adanya kecurangan.
Keberadaan situs tabulasi nasional (TNP: Tabulasi Nasional Pemilu) bisa diibaratkan sebagai papan tulis raksasa, di mana semua hasil “coretan-coretan” rekapitulasi secara nasional ditampilkan. Pada setiap TPS ada papan tulisnya bukan? Di situ anggota KPPS menulis hasil perolehan suara. Jika terdapat salah hitung atau input, saksi resmi dan juga masyarakat bisa langsung protes. Akumulasi dari semua hasil “coretan” tersebut disatukan dan ditampilkan secara “massal” pada papan tulis raksasa yang beralamat di http://tnp.kpu.go.id. “Sifat turunan” alias inherent otomatis juga dimiliki oleh papan tulis raksasa ini. Jika input yang dimasukkan di level bawah salah, maka salah pula-lah data yang ditampilkan. Hasil coret-coretan di papan tulis bukanlah hasil akhir yang dipakai, akan tetapi dijadikan sebagai acuan untuk melaporkan hasil akhir secara resmi pada sebuah TPS (melalui formulir yang ditandatangani bersama oleh KPPS dan saksi-saksi). Demikian juga pada tampilan tabulasi nasional secara teknologi informasi ini.


IT KPU 2009

Pada hari H Pemilu 2009 kemarin (9 April 2009), saya mencoba mengakses alamat http://tnp.kpu.go.id, tetapi sampai malam dicoba selalu gagal. Situs tersebut akhirnya dapat dibuka setelah saya mencoba mengakses melalui jalur-jalur akses (baca: provider Internet) yang berbeda. Namun, tampilan situs masih kosong. Jika dibandingkan dengan waktu yang sama pada Pemilu 2004 (5 April 2009), pada sore hari data sudah mulai meluncur dan tampil di Internet.
Pada hari H+1 (10 April 2009) siang ini, saya kembali mencoba melihat situs tabulasi nasional perolehan suara pada Pemilu 2009 ini. Hasilnya, situs dapat diakses dari provider Internet yang saya pakai (yang kemarin tidak bisa mengakses ke alamat http://tnp.kpu.go.id), namun, data yang ditampilkan bisa dibilang sangat amat minim. Jumlah suara yang ditampilkan sangat jauh dibandingkan H+1 pada Pemilu 5 tahun yang lalu.
Minimnya jumlah total suara yang masuk ke datacenter IT KPU 2009 ini memang menyedihkan. Namun, dengan kompleksitas formulir tabulasi yang harus diisi di tingkat TPS dan tentu implikasinya pada saat input-ing data di tingkat operator lapangan IT KPU, bisa dimaklumi data yang masuk tidak bisa diharapkan cepat. Berdasarkan pengalaman pada IT KPU 2004, ekspektasi masyarakat terlalu besar, dengan menganggap bahwa kalkulasi IT KPU pasti akan “secepat kilat” mengumumkan hasil akhir total perolehan suara. Jarang orang sadar atau mau tahu bahwa IT KPU tidak mungkin dapat berbuat banyak jika di tingkat operator lapangan (dulu di level kecamatan, sekarang di level kota/kabupaten) tidak memasukkan data ke aplikasi IT KPU! Dari mana situs TNP dapat menampilkan data jika tidak ada data yang dimasukkan di tingkat bawah??! Dulu, berbagai sebab musabab terjadinya keterlambatan input data; mulai dari pihak KPPS yang tidak segera memasukkan laporan rekapitulasinya karena ingin laporannya benar-benar valid alias tidak ada kesalahan, ada juga yang pihak kecamatan tidak mengijinkan operator (yang kebanyakan adalah relawan mahasiswa dan pelajar/guru SMK) lembur di kantor kecamatan (harus dikerjakan di jam kerja, padahal jam kerja di kecamatan itu baru mulai jam 10-an, jam 12 sudah istirahat, masuk lagi jam 2 siang, jam 3 sudah mau pulang!)… dapat dibayangkan jika ada kecamatan yang baru bisa melaporkan seluruh data-nya setelah lewat dari 1-2 minggu kemudian!
Dengan segala keterbatasannya, jika 5 tahun lalu jaringan IT KPU mencapai tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, kini “mundur” hanya sampai tingkat kabupaten/kota. Namun, “kemunduran” paling utama yang saya lihat adalah hilang-nya fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam transparansi hasil Pemilu. Jika pada 5 tahun lalu kita semua dapat melihat dan membuktikan sendiri hasil perolehan suara di TPS kita masing-masing (dengan mencocokkan data yang ada di web), kini tampilan IT KPU tidak lagi menampilkan fitur tersebut.
Tampilan perolehan suara pada situs http://tnp.kpu.go.id kini menurut saya tidak lebih dari perluasan quick count yang banyak muncul belakangan ini. Kenapa begitu? Quick count diselenggarakan untuk menghitung dengan cepat, melalui metode statistik, untuk memprediksi hasil akhir perolehan suara. Kata-kata penting dari quick count adalah hitung cepat, statistik, prediksi dan hasil akhir. Jika sampling data yang dilakukan oleh quick count misalnya hanya 5% dari total populasi TPS (saya belum mendapatkan angka pastinya), IT KPU memberikan “sampling” lebih baik saja (jika mengikuti apa yang terjadi di Pemilu 2004, “sampling” ini mencapai 80-an %). Tidak lebih dari memberikan “sampling” yang lebih baik. Karena kini IT KPU pun sama-sama tidak bisa memvisualisasikan perolehan suara dalam bentuk tabel sampai ke level TPS (setidaknya sampai pada saat saya membuat tulisan ini). IT KPU kini sama seperti quick count. Sama-sama tidak dapat dipakai untuk menunjukkan, apalagi membuktikan adanya manipulasi data, karena data yang ditampilkan “tiba-tiba” ya seperti itu. Tanpa keberadaan drill-down data sampai di tingkat TPS. Dengan sifatnya yang seperti itu, IT KPU 2009 tidak lebih sebagai “quick count” resmi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan keutamaan berupa tingkat sampling yang lebih baik (asumsi: 80%). Tidak ada kelebihan lain, selain menjadi lebih mahal secara implementasi (dibanding quick count yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga).

Kemampuan “Komando” dan “Penguasaan” Teritorial

Ada banyak orang dengan segudang ide, ada banyak pula orang yang punya segudang kemampuan. Tetapi pada pelaksanaan hajat sebesar IT KPU, yang dibutuhkan tidak sekedar ide dan kemampuan. Pekerjaan sebesar ini merupakan pekerjaan kolosal, pekerjaan yang harus dikerjakan beramai-ramai dan bahu membahu. Membangun sistem dan aplikasi pada datacenter adalah sebuah masalah besar. Tetapi jangan pernah lupa bahwa teknis pelaksanaan di lapangan juga menjadi sebuah masalah lain yang tidak kalah besarnya!
Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana mengumpulkan belasan ribu orang relawan dari berbagai unsur pelajar, guru dan mahasiswa di seluruh Indonesia dalam waktu 1 bulan saja? Mengajarkan bagaimana cara menggunakan aplikasi untuk meng-input data di setiap kantor kecamatan yang menjadi pusat entry data… dan juga membangun semangat militan, rasa nasionalisme dan memiliki yang mendalam terhadap sistem IT KPU 2004! Tanpa memiliki kemampuan “komando” dan memiliki jaringan yang luas dan “rembes”, pada siapa kita berharap? Pada bagian ini-lah yang sepertinya terlupakan oleh banyak orang.

2.2 IT KPU: Ketimbang 2004, Hacker Kini Lebih Canggih

Metode yang digunakan peretas atau hacker untuk menyusupi sistem Tabulasi Nasional Pemilu 2009 lebih canggih dari metode yang dipakai pada Pemilu 2004 lalu.

Demikian dikatakan Ketua Tim Teknis TI Komisi Pemilihan Umum, Husni Fahmi.

"Mirip dengan 2004, tapi (serangan) yang sekarang lebih canggih," katanya kepada wartawan di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta, Rabu (15/4/2009).

Meski menggunakan metode yang lebih canggih, hingga saat ini para peretas tersebut belum mampu merusak situs tabulasi nasional seperti kejadian pada tahun 2004. Fahmi mengatakan timnya telah bekerja maksimal untuk mencegah peristiwa tahun 2004 terulang kembali.

Selain menanggulangi secara teknis, tim Fahmi juga telah melaporkan penyerang tersebut kepada anggota KPU dan Unit Cyber Crime Mabes Polri. Namun, Fahmi enggan menjelaskan hal tersebut lebih jauh.

"Itu kewenangan KPU untuk memberi penjelasan, kami hanya menangani masalah teknis," katanya.


2.3 Telkom Pinjamkan 6 Server ke KPU

Untuk menunjang kelancaran proses tabulasi data Pemilu Legislatif 2009 dan publikasi real count Telkom meminjamkan enam buah server kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diharapkan dengan bantuan server tersebut proses penghitungan suara bisa lebih cepat dan dengan akurasi yang lebih tinggi.

"Proses penghitungan suara di KPU yang memanfaatkan jaringan Telkom relatif lancar dan tidak menemui kendala berarti," ujar Vice President Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia, Senin (13/4/2009).

Kondisi pengiriman data perolehan suara dari daerah ke KPU Pusat, seperti yg terlihat dalam real count KPU sampai hari ini baru sekitar 3 juta dari perkiraan 130 juta pemilih. "Trafik yang lewat di dalam jaringan yang menjadi tanggungjawab Telkom dan kami pantau masih sangat kecil yakni sekitar 5 hingg 10 persen dari total kapasitas yg kami sediakan," ujar Eddy Kurnia.

Namun demikian, Telkom telah mempersiapkan Plan B, seandainya kapasitas yang tersedia tidak mencukupi atau terjadi lonjakan trafik yang luar biasa, maka hanya dalam waktu kurang dari 30 menit Telkom dapat meningkatkan kapasitas hingga 300 persen.

Diakui Eddy Kurnia, publikasi tabulasi hasil pengolahan di Hotel Borobudur dan via internet pada hari Jumat (10/4) lalu nyaris overloaded oleh sekira 70.000 pengakses masuk (login user) dengan trafik sekitar 20 Mbps. Tiga server yang disiapkan KPU nyaris kewalahan. Begitupun untuk keperluan tabulasi dan validasi hingga siap dipublikasi dirasa kurang jika hanya menggunakan dua server.

Melihat kondisi tersebut, atas permintaan KPU, Telkom membantu meminjamkan enam server dengan kapasitas masing-masing empat kali lipat dari kapasitas server yang ada. Meski tanggung jawab Telkom lebih pada masalah konektivitas, tetapi menurut Eddy Kurnia, pihaknya akan mengawal secara ketat komunikasi data di KPU, baik itu KPU Pusat maupun di daerah.

"Khusus untuk lokasi KPU, Telkom menyiapkan engineering on site 24 jam di 506 titik," kata Eddy Kurnia.

Untuk keperluan Pemilu, sesuai kesepakatan dengan KPU, Telkom bertanggungjawab terhadap penyediaan Connectivity berupa bandwidth, instalasi dan integrasi, Disaster Recovery Center, Call Center serta Pemeliharaan Jaringan.


Bab 3
SOLUSI


3. Solusi dan Alternatif


Pascapencontrengan nasional merupakan masa yang sangat rawan dan sensitif. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem informasi KPU yang mampu menghitung secara cepat dan akurat serta tersedianya tabulasi bisa diakses secara luas. Konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Ada faktor penting menyangkut sistem informasi, yang dipilih untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu 2009. Hal itu, sebaiknya mempertimbangkan proven technology dan melihat track record serta reputasi penyedianya.
Dengan demikian, Pemilu 2009 tidak digunakan sebagai lahan uji coba suatu produk atau teknologi apa pun. Pilihan teknologi harus process driven, yakni berorientasi kepada perbaikan, bukan vendor driven yang semata berorientasi pada penyedia teknologi tertentu. Pengalaman pahit terhadap kinerja teknologi informasi Pemilu 2004 yang banyak mendapat kritikan hendaknya tidak terulang lagi.
Sebaiknya, ada transformasi yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan solusi jitu, terhadap kompleksitas sistem pemilu di negeri ini. Transformasi itu mengacu Grand Design Sistem Informasi Komisi Pemilihan Umum (GDSI-KPU). Fasilitas input data, database hasil penghitungan suara, dan sistem tabulasi merupakan unsur utama dari penghitungan suara elektronik (e-Counting atau Situng). Sedangkan e-Counting atau Situng hanyalah salah satu komponen (aplikasi) dari 28 komponen dari GDSI-KPU, yang dibutuhkan untuk mendukung tahapan pemilu. Ibarat bangunan, GDSI-KPU adalah rancangannya, Sistem Informasi KPU (Sipemilu) adalah bangunannya dan e-Counting atau Situng adalah pintunya. Fasilitas input data barbasis Optical Recognition Technology (ORT) dan tabulasi adalah pintu utama. Sedangkan fasilitas input data dengan cara manual adalah pintu darurat.
Kajian tim ahli KPU tentang fasilitas input data menyatakan bahwa dari sisi kualitas yang mencakup kemudahan pengisian form C1-IT, kemudahan dan kecepatan entry data, akurasi, integritas, dan akuntabilitas data serta faktor keamanan, maka penggunaan ORT jauh lebih baik bila dibanding dengan input data manual.
Proven technology untuk mematangkan sistem informasi bagi lembaga penyelenggara pemilu, telah menjadi keharusan bagi negara demokrasi. Seperti halnya di Amerika Serikat, pernah terjadi kesalahan atau kekurangan dalam sistem teknologi informasi pemilunya. Kesalahan itu biasa disebut compatibility problem. Oleh karena itu, Amerika Serikat sekalipun membutuhkan proses pematangan sistem informasi pemilunya, yakni Delacroy. Sekadar catatan, Delacroy Voting System merupakan suatu perkembangan teknologi untuk mengatasi perhitungan suara secara manual dan menggantinya dengan sistem komputerisasi suara. Kongres telah menyetujui perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa perusahaan itu mempunyai peran dan terus mengembangkan metode pemungutan suara, yang lebih praktis dan sangat akurat. Proses pematangan itu di Indonesia analog dengan kajian tim ahli TI KPU, yang menyatakan bahwa proyeksi sistem pemungutan dan penghitungan suara di masa depan, akan menggunakan e-Voting yang didukung teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Barcode Recognition (OBR) sebagai alat untuk menjamin auditabiltas dan akuntabilitas e-Voting.
Mestinya, bangsa Indonesia tidak mengulang pengalaman pahit terhadap sistem informasi Pemilu 2004. Di mana tabulasi data yang disajikan, ternyata kecepatan, kelengkapan dan akurasinya kurang memenuhi tuntutan atau aspirasi rakyat. Pada waktu itu, beberapa pihak sampai mendesak KPU untuk menghentikan penghitungan suara lewat teknologi informasi. Namun, proses demokrasi mustahil dilangsungkan secara ideal tanpa melibatkan TIK. Keterlibatan TIK dalam pemilu dikategorikan menjadi tiga hal, yakni sebagai tools, enabler, dan transformer. Keterlibatan sebagai tools adalah berperan sebagai pendukung jalannya organisasi penyelenggara pemilu dan komputerisasi dari back office. Di sini, TIK masih merupakan pelengkap dalam tahapan pemilu. Sedangkan sebagai enabler terwujud, jika TIK sudah menjadi penggerak tahapan pemilu serta menghasilkan efisiensi yang signifikan bagi organisasi penyelenggara pemilu. Sedangkan TIK sebagai transformer yaitu sebagai penentu arah transformasi organisasi penyelenggara pemilu menuju efektivitas pemilu, reduksi biaya, dan waktu secara signifikan dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses (process reengineering). Pemilu 2004 dan pemilu sebelum era reformasi, menjadikan TIK baru sebatas tools dan pelengkap. Pada penyelenggaraan Pemilu 2009 ini, mestinya TIK ditingkatkan fungsinya sebagai enabler. Pada Pemilu 2019 diproyeksikan sudah terjadi proses transformer, di mana pemungutan suara sudah bisa dilakukan dengan prinsip otomatisasi, rekayasa ulang proses, dan termasuk penggunaan mesin e-Voting generasi baru yang memenuhi kriteria verifiability dan auditability.
Dalam Pemilu 2009, input data suara secara elektronik direncanakan menggunakan prinsip Integrated Input Technology (IIT), yang terdiri dari Intelligent Character Recognition (ICR), Optical Mark Reader (OMR), data entry melalui aplikasi, dan data entry dengan digital form (e-Form). Dengan prinsip itu, data/file (misal hasil scaning form C1) dan database hasil konversi serta tabulasinya dapat disimpan lebih baik dan menjadi arsip KPU provinsi/kabupaten/kota yang dapat ditampilkan kembali dengan mudah dan cepat apabila diperlukan. Jika pada suatu saat terjadi sengketa hasil penghitungan suara, file arsip tersebut dapat dimunculkan dan dijadikan salah satu alat bukti yang valid. Dengan demikian, hasil penghitungan suara pemilu tersebut, menjadi lebih akuntabel dan auditabel. Solusi teknologi itu sangat membantu mewujudkan tabulasi hasil pemilu secara cepat dan menarik. Dengan demikian, rakyat tidak dirundung situasi ketidakpastian. Sungguh tontonan yang menarik bila penayangan hasil penghitungan suara didukung perangkat lunak tabulasi grafis berbasis business intelligence dan digital dashboard, yang merupakan suatu sistem informasi yang berfungsi untuk menampilkan data hasil penghitungan suara di setiap wilayah maupun daerah pemilihan, untuk calon anggota DPR dan DPD yang mempunyai kemampuan analisis data (analisis politik/demokrasi) dan memiliki fasilitas reporting yang lengkap berbasis GIS (geographic information system) dan digital dashboard dengan tampilan grafis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar